readbud - get paid to read and rate articles
this site the web

Selasa, 10 November 2009

Cerpen

Puisi Cinta di Laci Meja Sekolah

Rupanya ini toh alasan Denny datang pagi-pagi sekali ke sekolah, tergesa-gesa, sampai lupa mengenakan sepatunya? Pantas saja dia mau bela-belain datang sepagi ini.

Deasy menarik tasnya dari laci meja kelas. Srek! Ada sesuatu yang terjatuh. Secarik kertas warna merah muda. Tergolek di lantai kelas. Deasy memungutnya. Penasaran. Surat? Oh, bukan. Sebuah puisi. Puisi cinta! Gadis mungil yang memiliki rambut panjang melebihi pungungnya itu membaca puisi yang dia temukan.
Senyummu
adalah surga
ijinkan aku
tinggal di dalamnya
akan kubuat kau
selalu tertawa
teruntuk: ‘DD’



‘DD’? itu kan inisial namaku?! Jadi… puisi ini untukku? Ah, siapa yang menulis puisi ini untukku ya?
“Dor!”
“Kondor… kondor… kondor… eh…,” Deasy terlonjak dari tempat duduknya. Di hadapannya berdiri Denny. Saudara kembarnya itu tertawa ngakak. Sukses berat dia membuat Deasy mempertontonkan kebiasaan latahnya.
“Siapa yang kondor, Des?” Denny masih tertawa.
“Elo tuh, kondor!” sungut Deasy. Dia memungut kertas merah muda yang terjatuh saat Denny mengejutkannya.
“Apaan tuh?”
“Puisi.”
“Puisi? Coba lihat!” Denny merebut kertas yang Deasy pegang.
“Awas sobek!”
Denny membaca puisi cinta di dalam kertas itu.
“Gila! Sejak kapan adik gue jadi romantis begini? Ha ha ha… pake bikin puisi cinta segala.”
“Balikin!” Deasy merebutnya dari tangan Denny.
“Duh… yang lagi jatuh cinta. Buat siapa sih puisinya? Kok nggak kabar-kabarin sih kalo elo lagi naksir cowok? Siapa tuh ‘DD’? Anak sekolah sini juga ya?” cerocos Denny.
Giliran Deasy yang tertawa ngakak.
“Kenapa? Kok malah ketawa?”
“‘DD’ itu kan inisial nama gue!”
Kening Denny tambah mengerut. “Masa elo buat puisi cinta untuk diri sendiri sih?!” Denny memegang kening adiknya.
“Apaan sih lo,” tepis Deasy.
“Gue cuma mau periksa, apa saudara kembar gue masih waras? Masa naksir sama diri sendiri.”
“Aduh… punya saudara kembar satu aja bego banget sih!” keluh Deasy.
“What? Gue bego?”
“Iya! Elo bego! Banget!” Deasy membuka puisi itu di depan wajah saudara kembarnya. “Baca tulisan di bawah puisi itu!”
“Ter-un-tuk ‘DD’,” eja Denny.
“Tau artinya?”
“Buat ‘DD’ kan?”
“Bego!” Deasy menjitak kening saudara kembarnya yang mirip lapangan bola.
“Aduh! Sakit tau!”
“Itu artinya, ada orang yang nulis puisi ini untuk ‘DD’!”
“Siapa tuh, ‘DD’?”
“Bego lagi!” Sekali lagi Deasy menjitak kening Denny.
“Sakit!” Denny misuh-misuh.
“‘DD’ itu inisial nama gue! Deasy Dahlia!”
“Jadi maksud lo, ada cowok yang nulis surat cinta itu untuk elo?”
“Iya.”
“Kerajinan amat tuh cowok.”
“Yee… sirik tuh!”
“Eh, tapi elo udah tahu siapa cowok yang ngirimin puisi itu untuk lo?”
Deasy mengangkat bahu. “Belum.”
“Ala… paling-paling kerjaannya si Binsar!”
“Binsar kenek Patas itu?”
“Iya. Anak 3 IPS 1.”
“Nggak mungkin!”
“Kenapa nggak mungkin? Sudah sejak dari kelas satu dia naksir sama elo!”
“Tapi mana mungkin dia bisa nulis puisi cinta seromantis ini?!”
“Kenapa nggak mungkin?” sambar Denny,
“Bisa aja kan dia nyuruh orang lain buat puisi itu?”
“Ya… Bisa aja. Tapi… ah, masa si Binsar sih. Emangnya elo rela saudara kembar lo yang cantik jelita ini punya pacar kenek Patas yang brangasan?!”
“Mm… gimana ya?” Denny belaga mikir. Dia berdiri dari tempat duduknya. “Kalo gue sih, setuju banget! Biar bisa naik Patas gratis!” katanya sambil berlari menjauhi Deasy yang sudah siap melayangkan jitakan ke jidatnya.
“Denny gilaaaa!!!”
Pagi hari. Satu jam sebelum pelajaran pertama dimulai. Sekolahan masih sepi.
Deasy sengaja datang pagi-pagi sekali. Ada PR kimia yang dia tak bisa. Tanya Denny di rumah? Percuma! Anak itu mana pernah mengerjakan PR-nya. Semalam Deasy coba mengerjakan PR kimianya. Selesai sih. Tapi dia nggak begitu yakin dengan hasilnya. Makanya, dia datang pagi-pagi. Mau menanyakan hasil pekerjaannya sama si Febri. Cewek berkacamata tebal itu paling pandai kalau soal hitung-hitungan. Tapi waktu Deasy mau masuk ke dalam kelas…
“Ups!” seseorang menabraknya.
“S-sori?” kata pemuda jangkung anak kelas 3 IPA 1, yang kelasnya persis berada di sebelah kelas Deasy. Namanya, Ave.
Mau apa ya dia ke kelasku? Deasy curiga melihat Ave keluar dari kelasnya yang masih kosong. Ah, jangan-jangan…
Deasy segera beranjak ke mejanya. Betul saja! Dia menemukan secarik kerta warna merah muda di laci mejanya. Lagi-lagi puisi cinta. Begini bunyinya:
Kau
adalah puisi
yang ditulis Tuhan
untukku
aku akan selalu
membacamu
:teruntuk ‘DD’
“Ah, romantis banget!” gumam Deasy. Gadis manis itu tersenyum. Siapa sangka kalau si Ave, cowok terkeren di sekolahnya itu, diam-diam menaruh hati kepadanya. “Tapi, sejak kapan ya?”
Meskipun wajah Ave sangat tampan, dan banyak sekali disukai oleh teman-teman wanita, termasuk Deasy tentunya, tapi dia terkenal sangat dingin kalau untuk urusan ini. Jangan heran, kalau sampai saat ini dia belum memiliki seorang pendamping. Mungkin belum ada wanita yang mampu menggetarkan hatinya. Padahal, siapa sih, cewek yang nggak mau jadi pacar ketua OSIS yang punya IQ di atas rata-rata itu? Beruntung sekali cewek yang bisa menjadi pendampingnya. Dan siapa sangka, kalau Deasy-lah yang akan segera menjadi cewek beruntung itu?
Bruk! Denny melempar tasnya serampangan ke atas meja. Deasy tersenyum menahan tawa melihat penampilan saudara kembarnya yang amburadul itu. Sudah kemeja tidak dimasukan. Rambut tak disisir, acak-acakan. Dan…
“Sendal jepit?!” Deasy menatap telapak kaki Denny yang hanya beralaskan sendal jepit ke sekolah.
“Hah?!” Denny melihat ke bawah, “Ya… Ampuuuunnnn!” Denny menepuk jidatnya. Saking terburu-buru, dia sampai lupa mengenakan sepatu. Ah, saudara kembar Deasy itu memang benar-benar kacau balau!
Tapi dasar Denny, kembaran Deasy itu memang paling banyak sekali akalnya. Ia segera berlari ke ruang UKS (Unit Kesehatan Siswa). Meminta segulung perban pada Sheila, ketua PMR yang bertanggung jawab di tempat itu. Dengan perban itu, dia melilit kedua jempol kakinya. Lalu memercikkan obat merah di atasnya.
“Beres!” katanya, memperlihatkan jempol kakinya kepada Deasy. Kembarannya itu hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuannya.
Dasar gendeng! Batin Deasy. Sambil tertawa.
“Eh, puisi lagi ya?” tanya Denny waktu melihat kertas merah muda yang Deasy pegang.
“Iya. Dan sekarang, gue udah tahu siapa yang meletakkannya di laci meja!”
“Siapa? Binsar?”
“Sembarangan! Bukan kenek Patas itu. Tapi… Ave!”
“Ketua OSIS yang jangkung itu?”
“Iya.”
“Masa’ sih, dia naksir sama elo?”
“Lho, emangnya kenapa?”
“Ya, aneh aja…”
“Aneh kenapa?”
“Mmh… apa mungkin, cowok seganteng dia, naksir sama cewek seperti…,” Denny tak melanjutkan kalimatnya saat melihat Deasy sudah siap melayangkan jitakkan ke keningnya yang lebar.
“Pinjam PR kimianya, dong?” mohon Denny.
Rupanya ini toh alasan Denny datang pagi-pagi sekali ke sekolah, tergesa-gesa, sampai lupa mengenakan sepatunya? Pantas saja dia mau bela-belain datang sepagi ini. Biasanya, sampai 1 menit sebelum bel masuk dibunyikan, anak itu belum menampakkan batang hidungnya. Mungkin dia kapok. Dua hari yang lalu dia disuruh maju ke depan kelas mengerjakan PR kimia oleh Pak Mahjudin, guru Kimia yang usianya sudah bau tanah itu. Gara-gara nggak bisa mengerjakan soal di papan tulis, dia harus berdiri di depan kelas sampai jam pelajaran kimia berakhir!
“Tapi ada syaratnya,” ujar Deasy.
“Masa sama kembaran sendiri pake syarat-syaratan segala… komersil banget sih lo!”
“Mau nggak?”
“Ya… terpaksa, deh,” sungut Denny. “Apa syaratnya?”
Deasy menuliskan sesuatu di atas secarik kertas yang dia sobek dari buku tulisnya. Lalu melipatnya.
“Tolong berikan surat ini pada Ave!”
“Oke, Bos!” ucap Denny menerima kertas dari tangan Deasy. “Tapi…”
“Apalagi?
“Beliin gue nasi uduk, dong? Karena terburu-buru, gue nggak sempat sarapan di rumah.” Tampangnya memelas sekali.
“Katanya mau ngerjain PR kimia?”
“Iya. Tapi sambil makan nasi uduk.”
“Nih,” Deasy memberikan beberapa lembar rupiah ke tangan Denny. Pemuda sableng itu langsung ngeloyor pergi ke kelas sebelah. Kelasnya si Ave.
“Nih,” Denny menyerahkan kertas yang dititipkan Deasy kepada Ave. Ketua OSIS itu tampak sedikit tergagap melihat Denny yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya.
“A-apaan, nih?”
“Baca aja sendiri,” kata Denny sambil tersenyum. “Udah ya. Gue buru-buru. Mau ke kantin dulu beli nasi uduk.”
Sepeninggal Denny, Ave membuka lipatan kertas itu. Begini isi kalimat yang tertulis di dalamnya: ‘Sepulang sekolah nanti, aku tunggu di lobby bioskop 21, Plaza Depok.’
“Yes!”
Deasy langsung melambaikan tangannya begitu melihat tampang keren Ave celingukan di depan pintu masuk lobby. Pemuda itu agak sedikit keheranan melihat Deasy di sana. Ragu-ragu dia menghampiri Deasy.
“Sedang apa kamu di sini?” tanya Ave membuat Deasy berkerut kening.
“Nunggu kamu!”
“Denny-nya mana?”
“Denny?” Deasy tambah bingung.
“Iya. Bukannya dia yang mau ketemu aku di sini?”
“Bukan dia yang mau ketemu kamu. Tapi aku. Aku yang menulis surat itu kepadamu.”
“K-kamu? Buat apa?!”
Deasy makin tak mengerti melihat reaksi Ave yang seperti tidak mengharapkan pertemuan dengannya itu. Gadis manis itu kemudian mengulurkan kertas-kertas merah muda yang ditemukan di laci meja kelasnya dari dalam tasnya.
“Kamu kan yang menulis puisi-puisi ini, dan meletakkannya di laci meja kelasku?”
“Laci meja kamu?”
“Iya.”
“Lho… bukannya itu laci mejanya Denny?!”
Deasy menggelengkan kepala. Denny? Buat apa Ave meletakkan puisi cinta di laci mejanya Denny?!
“Ah, jadi aku…” Ave tertunduk lemas.
“Eh, apa sih hubungannya puisi-puisi itu dengan saudara kembarku?” tanya Deasy, membuat Ave sedikit gugup.
“S-sebenarnya…”
Malam harinya, di dalam kamar, Deasy tertawa terpingkal-pingkal sendirian. Denny khawatir melihat tingkah saudara kembarnya yang seperti orang sedang kesurupan itu. Dia segera menghampiri Deasy di kamarnya.
“Des, elo kesurupan syetan apaan sih?!”
“Ave!”
“Ave?” Denny garuk-garuk kepala. Tak mengerti.
“Nih,” Deasy memberikan puisi-puisi yang ditulis Ave kepada Denny.
“Buat apa elo kasih puisi-puisi ini ke gue?”
“Ave,” kata Desy masih sambil tertawa, “Dia menulis puisi-puisi itu untuk ‘DD’. Tapi bukan Deasy Dahlia.”
“Kalo bukan untuk elo, lalu untuk siapa?”
“Denny Damar!”
“Gue?!?”
“Iya! Dia menulis puisi-puisi cinta itu untuk elo!”
“HAH?!?! Jadi si Ave…”
Deasy mengangguk-angguk. Lalu kedua saudara kembar itu tertawa terpingkal-pingkal bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar anda adalah pikiran saya